Hampir genap 60 tahun berdiri, kiprah UK Petra di dunia pendidikan sudah tidak diragukan lagi. Melahirkan ribuan generasi penerus bangsa dalam berbagai bidang — para insinyur, akuntan, pengusaha, bahkan seniman. Namun sebelum itu, ada proses panjang yang mereka lalui. They all were once students. Datang dari berbagai daerah di Indonesia, berbagai latar belakang sosial dan kondisi ekonomi. Jatuh bangun dalam perjuangan berbeda-beda, bersama banyak air mata dan tawa. Semuanya demi pendidikan mereka, sebuah bekal untuk hari esok.
Meski demikian, bekal ini harus didapatkan dengan harga yang mahal. Biaya perkuliahan yang semakin tinggi menggerakkan Ir. Wong Budi Setiawan, M.M. untuk melakukan sesuatu. Lewat bisnis fintech Edufund, salah satu board member Mayapada Group sekaligus seorang alumnus UK Petra angkatan 1991 ini ingin berpartisipasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Bersama Edufund yang membawa moto dan tagline “Bridging Gap Building Knowledge”, Budi ingin menjembatani anak-anak yang ingin kuliah namun kesulitan biaya. “Kuliah sekarang semakin mahal. Edufund ingin mempertemukan para donatur/pemberi pinjaman dengan mahasiswa atau siswa. Saat ini (Edufund) sudah bekerjasama dengan beberapa kampus,” paparnya.
Edufund memiliki dua sistem pendanaan, yaitu beasiswa (scholarship) dan pinjaman (student loan). Mahasiswa dapat dengan mudah mendaftar lewat website edufund.co.id, mengisi kelengkapan data, dan Edufund akan memprosesnya. Demikian pula dengan sistem pinjaman, yang nominalnya berkisar antara dua juta hingga lima puluh juta rupiah. Pelunasannya pun dapat dilakukan dengan sistem cicilan bunga rendah.
Tentang dunia pendidikan di Indonesia, Budi menggantungkan mimpinya setinggi langit. Saat ini pendanaan Edufund terbatas pada uang semester/uang gedung, namun alumnus yang dulunya aktif di UKM Kerohanian ini mengaku punya keinginan memperlebar ranah pendanaan yang ada. Misalnya, membiayai kos, biaya pertukaran pelajar ke luar negeri, perlengkapan kuliah, bahkan modal usaha. “Tidak menutup kemungkinan waktu mereka kuliah, mereka pengen jadi entrepreneur — tentunya dengan rekomendasi dan pengawasan dosen, kita juga bisa berikan modal kerja,” jelasnya. Pada akhirnya, pendanaan yang diberikan ingin memberdayakan mahasiswa Indonesia sebaik mungkin. Bahkan tak hanya untuk siswa dan mahasiswa, tapi juga kepada dosen dan staf/akademisi bila ingin melakukan project, research, atau studi lanjut.
Meski sekarang lebih banyak bergelut di bidang bisnis bersama Mayapada Group — menjadi Presiden Direktur PT. Sona Topas Tourism Industry Tbk., mendirikan BPR Akasia Mas, dan masih banyak lagi — Budi dulunya adalah seorang mahasiswa teknik. Ia sempat mencicipi perjuangan menjadi seorang mahasiswa Teknik Sipil di UK Petra tahun 1991, hingga akhirnya lulus dengan gelar insinyur.
“Teknik sipil itu berat,” ujarnya mengakui. Meski berat, prodi inilah yang membentuk pola pikir dan logikanya. “Waktu saya ambil S-2 Magister Manajemen, saya nggak ada kesulitan belajar. Kalaupun ilmu saya (S-1 Teknik Sipil) tidak terpakai sepenuhnya, tapi logika berpikirnya itu masih terpakai,” tegasnya. Saat ini pun, Budi masih sedikit menggeluti dunia konstruksi berupa proyek perumahan di beberapa kota, dan ini pun dilakukan bersama kawan-kawannya dahulu di Teknik Sipil UK Petra. Banyak memori dan kebanggaan yang didapatkannya di Teknik Sipil UK Petra, seperti menjadi asisten dosen Matematika IV, menjadi ketua Persekutuan Kristen Teknik Sipil UK Petra, dan belajar dari dosen-dosen ahli. Budi bercerita, “Dosen-dosen kita itu cukup ternama di bidangnya. Pak Gideon dan Pak Takim dulu masuk komite yang menentukan peraturan beton Indonesia. Otomatis, kita mahasiswa punya dream seperti itu (bermimpi tinggi, red.).”
Bermimpi tinggi memang tidak ada salahnya, selama terus dikejar dan tak hanya jadi bunga tidur. Ilmu yang dipelajari saat ini, bersama dengan seluruh perjuangannya, akan jadi jembatan untuk hari esok. Meski banting setir ke dunia bisnis, tak berarti kisah Budi berakhir begitu saja. Kisahnya malah makin cemerlang. Seperti ucapan klise, hasil takkan mengkhianati usaha, bukan?
Ditulis oleh: Denalyn T. Istianto