Hari gini mau cari referensi cafe yang Instagram-able buat nongkrong dan makan-makan cantik? Atau mau cari restoran yang ramah di kantong tapi tetap memanjakan lidah? Scroll halamannya food blogger, dong! Zaman sekarang ini, rasanya semua warga dunia maya alias warganet pasti pernah melihat unggahan dari seorang food blogger. Sesuai namanya, seorang food blogger atau foodie biasanya membagikan konten-konten seputar makanan dan minuman lewat platform media sosial ataupun blog secara audio-visual. Konten-konten ini dapat berupa informasi tentang lokasi restoran, kisaran harga produk, hingga “review jujur” yang dikemas dengan gaya khas masing-masing foodie. Lewat foto, video, hingga narasi yang menarik, para foodie memancing rasa ingin tahu para warganet tentang produk yang mereka konsumsi, menjadi sarana promosi yang efektif bagi para pengusaha dunia kuliner.

Menjadi seorang foodie adalah pekerjaan yang sangat enjoyable, demikian menurut Vicky Yuwono, S.T., seorang alumnus Prodi Teknik Industri angkatan 2009. Bukan karena konsepsi “makan dan dibayar” seperti anggapan banyak orang, tetapi karena menjadi seorang foodie berarti dirinya bisa fokus pada hal yang disenanginya: fotografi. Lewat akun Instagram @vickyyuwono, pria kelahiran Kediri ini membagikan potret-potret makanan yang diambilnya dengan apik, sekaligus memberikan ulasan lengkap yang berkualitas.
Berawal dari idealismenya untuk bekerja sesuai passion, Vicky yang bergelar sarjana teknik mencoba segala cara untuk bisa menekuni fotografi sebagai pekerjaan utamanya. “Awal lulus, sempat kerja tiga bulan di salah satu pabrik di Rungkut. Aku nggak betah, jadi setelah kontrak awal selesai, aku berhenti. Awalnya, aku masih ada pikiran untuk kerja sesuai passion, yaitu foto. Tetapi, kenyataannya susah, melihat background aku lulusan teknik,” kisahnya. Ia pun sempat ikut kursus fotografi untuk mendapatkan sertifikat, namun mencari pekerjaan di bidang tersebut tetap sulit. “Orang melihat aku cuma punya sertifikat, bukan gelar dari sekolah formal. Sempat jobless selama enam bulan sebelum akhirnya masuk kerja di salah satu bank swasta di Surabaya,” tambahnya. Walaupun terlihat sebagai karir yang stabil, ini bukanlah jalan yang diinginkan Vicky.
Dua tahun berjalan, dan kontraknya dengan bank swasta tersebut berakhir. Persimpangan jalan kembali muncul di depan mata. “Selama dua tahun itu, aku masih terus foto untuk upload di Instagram. Selesai kontrak di bank, galau. ‘Lanjut, gak?’ Salah satu temanku bilang, ‘Ya, sudahlah, kamu coba resign. Kalau tiga bulan pertama nggak dapet duit sama sekali, terburuknya, kembali kerja ikut orang.’” Dari sana, Vicky memberanikan diri berhenti dari pekerjaannya.
Sejak masih mahasiswa, Vicky memang senang memotret kudapan yang dipesannya di kafe. Bahkan, ia sering memesan dessert di toko-toko online dan menuliskan ulasan sendiri di Instagram. Hobinya itu membuka pintu koneksi dengan banyak Instagrammer (pengguna Instagram, red.) dengan kesenangan yang sama. Ia pun terjun ke dunia kuliner sebagai seorang content creator, atau yang lebih dikenal dengan istilah food blooger atau foodie, dan sangat menikmatinya hingga saat ini.
“Enak ya, kerjaannya makan-makan terus, dibayar pula!” Mungkin sebagian dari kita berpikiran seperti ini kala melihat unggahan para foodies di Instagram ataupun TikTok. Tetapi, menjadi seorang foodie yang berkualitas ternyata tidak mudah. Menurut pria 30 tahun ini, menjadi seorang foodie berarti banyak berhubungan dengan manusia. “Berhadapan dengan orang-orang itu tantangan. Kadang ada yang santai, ada juga yang rewel. Ada yang tidak mengerti Instagram, ada request yang sulit dan nggak searah sama pemikiranku,” tuturnya. Tak hanya itu, seorang foodie juga harus peka akan tren. “Tahun 2013-2014, orang akan follow akun Instagram berdasarkan visual foto atau feeds-nya. Tetapi sejak 2016-2017, tren itu bergeser. Orang lebih melihat konten. Tidak peduli makanannya ditata atau tidak, fotonya bagus atau tidak, selama makanannya terlihat enak, maka akan di-follow. Sekarang juga banyak bergeser ke video,” ujarnya. Vicky yang awalnya berfokus pada food photography, harus mulai menyesuaikan diri dengan membuat konten berupa video casual ala-ala TikTok yang saat ini tengah merebak.



Menjadi foodie saat ini juga tak lepas dari dampak pandemi global. Baginya, pandemi COVID-19 bagaikan blessing in disguise. “Di awal pandemi, sekitar Juni-Juli 2020, banyak sekali pengusaha FnB baru yang muncul, dan mencari media promosi,” kisah Vicky. Namun di balik banyaknya permintaan promosi yang masuk, acara-acara yang sudah terjadwal pun banyak yang dibatalkan. Vicky juga harus menyesuaikan kebiasaan baru, yaitu melakukan background check sebelum keluar rumah — memastikan restoran atau kafe yang didatanginya tidak sedang ramai, ataupun meminta produk promosi dikirimkan ke rumah.
Dunia seorang foodie pun tak jarang dihiasi miskonsepsi dari orang-orang yang melihatnya. “Orang mengira, foodie harus membuat produk yang diulasnya laku. Padahal, foodie itu ibarat ‘koran’. Targetnya adalah awareness, bukan sales,” jelas Vicky. Foodie berbasis Surabaya ini juga sering mendapatkan pertanyaan terkait ulasan yang diberikannya. “Seringkali kita dipertanyakan, ‘wah, kamu ini fake review ya?’ Ada oknum-oknum yang memang suka review ‘ngasal’. Tidak enak, dibilang enak,” tukasnya jujur. Dalam mempertahankan kualitas ulasannya, Vicky menggunakan konsep “mengapa” yang didapatkannya dari perkuliahannya di Teknik Industri UK Petra. “Misalnya aku bilang ‘makanan ini enak’. Mengapa enak? Apakah sudah dibandingkan dengan brand sebelah? Segi enaknya dari mana? Dosen-dosen di TI dulu selalu menanyakan, why. Gaya review-ku terpengaruh pola pikir yang aku dapatkan ketika kuliah di TI, ” ceritanya. Apakah menjadi seorang petualang kuliner berarti ilmu yang didapatkan Vicky di Teknik Industri berakhir sia-sia? Jawabannya, ya dan tidak. “Mata kuliah yang benar-benar terpakai secara eksak, ya, nggak ada,” ujar Vicky terkekeh. “Tetapi yang terpakai itu pola pikirnya,” ia melanjutkan. Meski karirnya saat ini sangat berbeda dibandingkan studinya dulu, hari-hari di Teknik Industri malah mengajarkan Vicky untuk terus berusaha. “Banyak orang yang nasibnya sama kayak aku. Kuliah bingung sama jurusan, begitu nyemplung, ternyata salah. Pesanku, jalanin sampai akhir. Tetap berusaha, tetap ketahui passion. Kerjakan passion-mu di dalam dan luar kampus. Setelah lulus, mencari pekerjaan sesuai passion mungkin memakan waktu lama, tetapi suatu saat, pasti ketemu,” tutupnya.
Ditulis oleh: Denalyn T. Istianto